Membangun Cinta, Bersama Siapa?
Pernah nggak
teman-teman membaca buku “Berjuta Rasanya” karya Tere Liye tepat di sub-bab; “Cintanometer”.
Disana jelaskan secara gamblang bahwa Cintanometer adalah alat untuk mendeteksi
perasaan cinta lawan jenis terhadap pasangannya. Ini adalah kutipan dari “Berjuta
Rasanya; Cintanometer” karya Tere Liye di bawah ini:
“Dewan kota akan menciptakan alat pendeteksi cinta. Sebut sajalah
namanya cintanometer. Bentuk fisiknya kurang lebih mirip freehand telepon
genggam yang kalian kenal selama ini. Dicantolkan di telinga, dan ia dengan
kecanggihannya akan memberitahukan perasaan yang sedang dipikirkan oleh lawan
jenis di hadapanmu.
Bagaimana caranya? Tidak jelas juga seperti apa. Terlalu rumit untuk
dituliskan. Tetapi kurang lebih cintanometer akan mendeteksi gesture tubuh,
kadar pheromon, getaran arus listrik yang timbul dari detak jantung pasangan
Anda, medan elektromagnetik yang muncul dari sekujur kulitnya, sinyal alpha
dari bola matanya, frekuensi dan lamda getaran suara saat pasangan Anda
berbicara dan berbagai pemicu kimiawi lainnya yang terus terang aku juga tidak
terlalu mengerti.
Dengan cintanometer itu, anak-anak muda tak usah malu lagi menyatakan
cinta. Alat ini seratus persen akan menjamin kalkulasi variabel yang
ditangkapnya benar-benar nyata. Deviasi kesalahannya kecil sekali, sehingga
kalian tak usah lagi khawatir ditolak mentah mentah.”
Canggih sekali, bukan? Alat
Cintanometer yang dipaparkan diatas? Namun, seiring berjalannya waktu, alat
tersebut memiliki dampak yang fatal bagi kehidupan warga yang menggunakan. Jika
alat itu bisa menyatakan perasaan cinta, maka alat itu juga bisa membuat
semuanya menjadi runyam.
Seorang pasangan yang
telah hidup puluhan tahun baik-baik saja menjadi bertengkar hebat dan berpisah
karena ia tahu bahwa pasangannya tak pernah mencintainya selama ini, pasangan
muda yang dilanda cinta baru saja mengetahui bahwa orang yang memilihnya tidak
benar-benar mencintainya, memunculkan perselingkuhan dan berbagai macam hal
rumit lainnya.
Ada hal yang paling
sulit didefinisikan, jatuh cinta. Meskipun banyak kamus dan buku-buku atau ahli
Cinta di dunia ini, namun ia adalah hal absurd yang tidak memiliki nilai mutlak
dan teori pasti. Tapi, apakah kamu tahu ada yang lebih penting untuk dibahas
daripada membahas sekadar “jatuh Cinta”, sebab jatuh cinta adalah masalah rasa,
hanya tentang kamu dan perasaanmu, tanpa orang lain. Kita bisa saja jatuh cinta
dengan setiap orang yang lewat di depan kita tanpa kita peduli atau tahu apakah
ia juga jatuh cinta kepada kita, yang kita tahu, kita menikmatinya, maka semakin
lama ia hanya akan menjadi obsesi-obsesi satu pihak tanpa dukungan pihak yang lainnya.
menyedihkan, bukan? Ibarat memancing di kolam yang tak ada ikannya, tak peduli
ia dapat ikan atau tidak, yang terpenting dia suka memancing dan menikmati
waktunya. Bukankah itu hal konyol?.
Tidak salah kita jatuh
cinta, tapi bukan itu yang kita cari dalam hidup.
kita mungkin selama ini
sudah menuliskan kriteria A-Z, atau sudah membuat planning sekian banyaknya. Dalam
hal lain, kita tak jarang mendapati pasangan yang (dengan ego kita, kita
menilai) bahwa mereka tak cocok, cakep dan kurang cakep, dari keluarga kelas 1
dan kelas 3, misalnya. Itu sungguh hal yang sama sekali tidak berlaku, dan
tidak penting.
Mengapa? Sebab yang
sebenarnya kita butuhkan adalah
seseorang yang berani mempertaruhkan hidupnya baik perasaan, pikiran, bahkan
fisik dan mentalnya untuk bersama-sama dengan kita MEMBANGUN CINTA. Mengapa demikian?
Jatuh cinta itu sulit bagi sebagian orang, namun lebih sulit membangun cinta. Sebab
membangun cinta bukan sekadar “asal aku bahagia, asal kamu bahagia” tapi,
sama-sama saling memperjuangkan “bagaimana agar kita bahagia” sudah jelas,
membangun cinta memiliki tujuan yang jelas, visi dan misi yang sama. Kita harus
bersyukur jika Allah mantakdirkan partner hidup kita adalah orang yang membuat
kita jatuh cinta dan kita mencintainya, namun adalah wajib bagi kita untuk
mencintai pasangan kita kelak sekalipun jika Allah memberikan seseorang yang
tak pernah kita cintai. Mengapa demikian? Sebab cinta itu dibangun, bukan ditunggu.
Bukan “jalani saja” tapi, “sama-sama berjalan di arah yang telah ditentukan”. Tidak
sulit memahami cinta, jika dua insan sudah sama-sama saling; memahami,
memaklumi, mengerti, menyadari, dan memperjuangkan.
Disekitar kita, sering
sekali kita mendengar pasangan yang selama ini romantis, harmonis, baik-baik
saja namun di tengah jalan mereka berpisah, Mereka bercerai, dengan alasan “kami
berdua sudah tidak cocok”.
Konyol bukan?
Lantas mengapa dari
awal mereka memutuskan untuk menikah dengan orang yang saat itu mereka anggap
paling tepat, paling cocok, jika akhirnya setelah mereka saling tahu, dan
saling paham, mereka beralasan “kami sudah tidak cocok” apakah menikah ada
batas expired-nya? Ada tanggal
kadaluwarsa-nya, begitu? Jika seperti itu, maka berapa kali kita akan mengganti
partner hidup kita? Ketika sudah tak merasa cocok kemudian ganti, jalani, dan
ganti lagi. Konyol bukan? Menentukan goals bersama partner hidup tidak
sebercanda itu. Dan menikah bukanlah sebatas untuk hal duniawi saja, bukan
sebatas kebutuhan.
Jadi bagi teman-teman
semuanya, khususnya untuk kaum hawa. Jika memang sudah ada pemuda yang
berniat menjadi bagian dari cerita hidupmu, jangan malu dan jangan segan untuk
menanyakan: “Mas, sudah siap membangun cinta bersamaku?”
Sebab jika ia bukanlah
seorang pecundang, ia akan dengan siap 100% bertanggungjawab atas keputusan
awalnya yang mengijinkan dirinya masuk dalam hidupmu, dan siap menerima serta
memperbaiki seburuk apapun dirimu dan ia dengan yakin menjawabnya.
mantap djiwa
BalasHapus